Monthly Archives: August 2015

Tentang Waktu

Okey. Hari ini aku akan cerita pendek saja. Tentang waktu.

Waktu yang semua orang punya sama: 24 jam sehari semalam. Mau orang kaya atau miskin, cerdas atau bodoh, rajin atau pemalas, penjahat atau pejabat semua punya waktu yang sama. Begitu pun waktu yang aku punya.

Tinggal di Jakarta memberikan begitu banyak kesempatan, tapi di sisi lain juga banyak kesempatan untuk waktu terbuang begitu saja.

Pulang naik bus TJ dari Perpusnas Salemba jam 4 sore, sampai di tempat tinggal di Kp Rambutan jam 6 sore. Buat pulang aja udah habis waktu 2 jam.

Perginya sendiri butuh waktu 1,5 jam dan itu sudah terhitung cepat. See? Hampir 4 jam kurang lebih waktu yang kupunya setiap harinya bisa menguap begitu saja di jalan.

Sampai perpusnas kondisi fisik belum fit #halah buat browsing dan ngerjain lain2. Pokoknya banyak potensi waktu yang kita punya “kelar” begitu aja, tanpa karya, tanpa produktivitas, tanpa sesuatu hal yang berarti.

Hei, bisa aja kita #halasan waktu di kendaraan bwt istirahat, tidur sekejap dll. Tapi… kalau waktu kita lebih banyak buat tidur, bengong dan hal-hal yang nggak bikin produktif. Bagaimana kelak kita akan mempertanggungjawabkan waktu pada sang pemilik waktu?

Tulang Rusuk yang Patah

Entah kenapa, Minggu malam kemarin rasanya aku sulit tidur. Sulit kerja malam-malam biasa, ditambah sulit tidur juga kan makin mati gaya. Akhirnya jam 10an malam aku keluar rumah dan nongkrong di warung burjo untuk sekedar makan cemilan dan minum susu coklat dingin.

Apa spesialnya nongkrong di warung bubur kacang ijo, Gung?

Nahhh iniii… aku juga nggak tahu apa spesialnya coba. Wkwkwk.

Dalam setiap peristiwa sederhana atau hal-hal yang sepertinya biasa aja, selalu ada hikmah dan cerita yang bisa kita ambil pemahaman darinya, Kawan.

Malam itu tumben banget hal yang jadi pembicaraan tentang anak perempuan yang hilang. Sudah sejak Jumat sore gadis kelas 3 SMP itu tidak pulang ke rumahnya. Dihubungi via telpon pun tidak bisa. Kontak ke teman2nya juga tak ada yang tahu. Sampai akhirnya orangtua gadis itu melaporkan kehilangan anaknya itu ke polisi.

Ini jadi topik hangat pembicaraan malam itu.

Mamang yang punya warung burjo pun ikut angkat bicara.

Menurutnya di saat seperti ini pasti orang tuanya cemas bahkan sudah mikirinnya yang jelek-jelek aja.

Ceritanya pun klasik sekali.

Anak perempuan yang salah gaul dengan orang-orang yang lebih tua, gaya berpakaian yang seksi, sering telat pulang ke rumah, giliran di rumah biasa dimarahi orang tua dan akhirnya kini dia menghilang entah ke mana.

Si anak itu sempat update status facebook bahwa dirinya sedang menjaga anak orang yang ibunya belum pulang. Entah anak siapa yang dia jaga.

“Kalau perempuan kan gitu, kalau terlalu keras malah bisa patah.” celetuk Mamang penjaga warung burjo.

Bagian ini kuingat betul. Ya, perempuan seringkali dianalogikan seperti tulang rusuk yang bengkok. Tugas imamnya lah untuk meluruskan, kalo terlalu keras bisa patah. Tapi kalo tidak diluruskan ya makin bengkok.

Sungguh persoalan yang klasik sekali.

Seorang anak muda yang juga duduk di warung burjo malah punya cerita yang lebih seram lagi. Ada anak perempuan yang sudah 5 bulan tidak pulang. Isunya dia korban perdagangan manusia. Ada temannya yang melihat dia jalan dengan Om-Om. Hiks. Entah bagaimana hancurnya perasaan Ibu dari anak itu.

Aku yakin kita memiliki jiwa-jiwa yang baik, Kawan. Ikut sedih mah udah pasti menyadari kejadian memilukan seperti ini ada di sekitar kita.

Terus apa yang harus dilakukan, Gung?

Mulai dari diri sendiri, minimal banget, jangan jadi bagian dari masalah. Udah. Itu aja dulu. Mudah-mudahan secara bertahap kita bisa jadi bagian dari solusi buat masyarakat.

Aku kenal beberapa orang yang kusebut sebagai “tulang rusuk yang patah” ini. Hal yang bisa kulakukan saat ini mungkin mendoakan kebaikan untuk mereka. Walaupun beberapa waktu lalu udah gemes banget ingin mereka hilang aja dari muka bumi.

Ciri Orang Kaya itu Suka Baca Buku

Selama terjun ke bisnis online buku selama setengah tahun terakhir, ada salah satu hal yang menarik perhatianku yakni tentang latar belakang pelanggan. Kawan, bukan cuma mahasiswa lohh, akademisi, pelajar, guru, pekerja kantoran atau orang-orang yang memiliki background edukasi cemerlang yang suka membaca.

Setidaknya ada dua pelanggan buku yang bekerja di pabrik. Ya, pabrik. Jangan mengira aku merendahkan orang yang bekerja di pabrik, karena sebelum memutuskan menulis dan terjun di dunia perbukuan, aku ini cuma staf gudang salah satu pabrik garment di Bandung.

Wow, surprise juga ada beberapa orang yang kerja di pabrik tapi nggak sayang memakai uangnya untuk beli buku. Malah saat masih di pabrik garment, aku sepertinya tidak pernah beli buku.

Berbanding terbalik dengan beberapa teman yang… cukup mapan secara ekonomi dan pekerjaannya juga terpandang, yang masih sayang untuk belanja buku.

Saat ngobrol2 lebih jauh, pelanggan buku yang bekerja di pabrik itu memang teman2nya tidak hobi baca. Aku lupa redaksi tepatnya, tapi alasan dia beli dan baca buku itu karena ingin menambah ilmu dan wawasan baru. Dia menyadari juga kondisinya yang tidak kuliah dan kalau nggak baca lah gimana caranya dia bisa maju?

Wow, ada juga yak karyawan pabrik yang berpikir seperti itu.

Sudah jamak kita tahu kalau lebih prioritas investasi untuk leher ke atas salah satunya dengan baca. Malah kebiasaan orang kaya itu salah satunya suka membaca. Malah Mark Zuckerberg yang bikin facebook aja rekomendasiin buku Mukaddimah Ibnu Khaldun coba.

Aku percaya tak kan merugi orang-orang yang senang baca. Kalau apa yang dibacanya nggak kepake hari ini, insya Allah besok lusa tetap akan bermanfaat.

Kalau hari ini kita belum kaya, tak masalah. Mulai sekarang milikilah mental dan kebiasaan orang kaya: lebih suka memberi daripada mental gratisan dan senang membaca. Trust me. ^^

Betapa Kematian Itu Sungguh Dekat

image

Ada yang sudah nonton film Jenderal Soedirman? Apalagi pemerannya Adipati Dolken lohh, banyak fansnya kayaknya. Hahaha.

Malam Sabtu alias Jumat malam (28/8) Afilin ngajak nonton film biopic ini di Mal Cijantung, cukup naik angkot sekali dari tempat tinggal kami di Kp Rambutan.

Jujur, aku bukan pecinta biografi pahlawan atau sejarah. Overall filmnya seru ya walaupun beberapa kali ngantuk sihhh. Kalau ada yang udah nonton Mata Najwa edisi film Jendral Soedirman ini, apa-apa yang diceritakan oleh saksi sejarah akan kita saksikan visualisasinya di film ini. Salah satu bagian paling epic ialah ketika “Dimas” ini menolak perintah Soekarno untuk tinggal di Yogya, sebagai tentara dia memilih untuk perang gerilya. Pada akhirnya taktik perang gerilya Jenderal Soedirman membantu perundingan Roem Royen dan berhasil mengusir keluar penjajah Belanda selamanya dari negeri ini. Rekomended buat ditonton dahh.

Bukan berarti lewat taktik perang gerilya, Jendral Soedirman tak dihampiri oleh maut. Sering malah, berkali-kali penghianat bangsa sendiri alias duri dalam daging hadir. Momen yang paling dramatis di film itu –yang kukonfirmasi ke Afilin dan kejadian itu memang terjadi — ialah ketika Jenderal Soedirman dan pasukannya terkepung oleh Belanda di sebuah rumah. Salah seorang pasukannya menjadi mata-mata Belanda

image

.

Lalu bagaimana caranya “Pakde” dan pasukannya yang terkepung itu bisa lolos dari Belanda?

Dalam waktu yang teramat sempit itu, Jenderal perokok berat (yang kalau film ini tayang di tv nasional pasti disensor abis-abisan) bersama pasukannya langsung menyamar menjadi sekumpulan orang yang sedang berzikir. Penyamaran sempurna, si penghianat menunjuk hidung sang Kiyai sebagai Jenderal Soedirman, Belanda tak percaya dan malah menembak mata-matanya sendiri. Pokoknya epik banget. Kekurangan film ini mungkin aksi tentara Belanda yang kurang meyakinkan kali ya. Hehehe.

Ada satu tokoh yang kocak banget di film ini. Bagian ini tak kan aku ceritakan. Silahkan dinikmati filmnya langsung saja.

Habis nonton film itu aku menyadari betapa kematian itu sungguh dekat… dekat dengan para pejuang. Pejuang yang mempertaruhkan nyawa demi idealismenya, demi agamanya, untuk apa yang mereka cintai.

Pekerjaan seperti pemadam kebakaran saja begitu dekat dengan kematian kan. Apalagi tentara yang bertugas di wilayah konflik. Terlebih misalnya saudara-saudara semuslim kita di Palestina yang masih dijajah oleh Israel. Spirit Jenderal Soedirman ada dalam diri mereka. Aku yakin itu.

Dalam imajinasiku, di benak orang-orang yang perannya begitu dekat dengan kematian. Bukan kematian yang membuat mereka takut, atau bukanlah itu hal yang terlalu penting. Tapi apakah hal-hal yang mereka lakukan lebih berarti, hingga mereka mau menukarnya dengan kematian sekalipun.

Oya, Jenderal Soedirman sendiri meninggal di usia 34 tahun karena sakit paru-paru. Tahun 1950 kalau tidak salah. Salah satu tangan kanannya, Nolly, menjadi Gubernur Jakarta dan menjadi peletak batu pertama dari Mesjid Panglima Besar Soedirman yang terletak di Cijantu

image

ng.^^

Kurendahkan Tubuhku tuk Berbicara dari Hati dengan Gadis yang Sebelah Kakinya Sudah Mendahului ke Surga

Alhamdulillah…

Kamis (27/8) kemarin akhirnya kesempatan juga buat silaturahmi dengan Bu guru matematika waktu SMA dulu.

Sempat beberapa kali janji tapi gak ketemu juga –hikks, maafkan muridmu yang Php ini, Bu– Jam 11 kami bertemu di Gramedia Central Park.

Lah kok ketemuannya di Gramed, Gung? Sekalian soalnya, Ibu mau nganterin anaknya beli alat2 gambar gitu.

Waktu sampai di Gramedia, aku langsung salim. Hohoho. Selain anak perempuannya yang sedang menjalani pengobatan kanker, juga hadir anak pertamanya yang kuliah akuntansi di Universitas Siliwangi, Tasik. Bukan hanya mereka bertiga saja, ada sepasang Ibu dan anak laki-laki umur 10 tahun yang baru saja sembuh dari leukimia.

Sebelumnya aku pernah bikin tulisan tentang perjuangan Ibu Guruku ini yang tak kenal menyerah dalam mendampingi proses penyembuhan putrinya. Hari ini kulihat perjuangan yang sama. Setahun terakhir ini beliau tidak mengajar, fokus ke putrinya saja.

Bedanya dengan pertemuanku dengan Putri, sebut saja namanya seperti itu ya, sebelah kakinya sudah mendahului ke Surga.

Putri kalo pergi ke mana-mana praktis pake kursi roda, kadang didorong Ibunya atau kakaknya. Mencari alat gambar dan buku di barisan rak itu. Kadang dia gunakan sebelah kakinya untuk tumpuan terus jalan deh atau pakai tangannya untuk menarik tubuhnya dan kursi roda itu. Hiks, diksiku parah sekali. Gitu lah intinya mah ya pada paham.

Parasnya tampak serius, aku bingung ingin ngajak ngobrol dari mana. Sesekali aku ngobrol dengan Ibu tentang Putri, tak kurang 6 kali kemoterapi sudah dia jalani.

Aku tersadar satu hal. Sepertinya masih belum levelku buat dapat ujian seperti Putri atau Ibu. Masalah yang mereka hadapi jauh lebih berat dari serangkaian masalah yang membelitku. Hal ini membuatku bercermin.

Aku sadar tak banyak hal yang bisa kubantu buat Ibu. Sekedar ngajak ngobrol Putri dan membuatnya tersenyum sudah cukup baik. Tapi gimana caranya? Harus kumulai dari mana?

Aku yang biasanya pede kalo urusan pedekate sama cewek langsung down. Kruk.

Tapi aku teringat dengan beberapa tips yang sudah biasa kupraktekkan.

1. Talk about her.

Namanya juga sharing dan ingin menghiburnya, alih-alih memberinya setumpuk nasehat dan kisah supaya sabar, aku memutuskan untuk bertanya dan memancingnya untuk bercerita tentang semua yang berkaitan dengan gambar, anime dan manga. Ya, semua itu favoritnya.

Aku lupa gimana awalnya tadi, tahu-tahu kami sudah ngobrol ngalor ngidul tentang anime. Tentang komik detektif conan 1-83 yang dia baca dan koleksi, dapat tiket gratis nonton detektif conab the movie di blitz, sampai kemudian aku merekomendasikan film animasi “Battle of Surabaya” dan “Inside Out” yang bisa dia tonton di akhir pekan. Sepanjang perbincangan itu aku sama sekali tidak menyinggung tentang kanker atau sebelah kakinya yang sudah mendahuluinya ke Surga.

Oya, usia Putri ini setara kelas 3 SMA kalo tidak salah. Lupa.  Hehe.

2. Posisikan tubuhmu sejajar dengannya.

Tolong koreksi ya teman-teman yang lebih paham tentang parenting. Salah satu tips parenting yang dulu aku dapat, kalo mau akrab bicara dengan anak tuh posisikan tubuh dan pandangan sejajar dengan lawan bicara. Hal ini juga terbiasa aku praktekan. Begitu pun ketika berhadapan dengan Putri.

Aku sengaja membungkuk bahkan jongkok agar posisi tubuh dan pandanganku sejajar dengan dia yang duduk di kursi roda. Entahlah, aku merasa dengan begini lebih akrab saja dan jadinya tidak ada barrier atau batas. Memang butuh usaha lebih daripada aku ngobrol dengan berdiri dan memandangnya dari ketinggian. Tapi itu semua terbayar ketika tak ada jarak di antara kita. #Eaaa.

Jangankan anak-anak, gimana sih kalau kalian melihat dua orang dewasa ketika ngobrol yang satu menundukkan kepala minder sedangkan seorang lagi mendongakkan kepalanya sombong? Bukan percakapan yang setara kan.

Hei Put, kita ini teman loh. Pesan itu yang ingin kusampaikan padanya. Semoga saja tersampaikan. Hehehe.

Lagian memang anaknya sudah tangguh kok, insya Allah. Tak jarang malah Putri yang menguatkan Ibu Guruku saat dirinya sedih.

Entah berapa puluh juta atau ratusan juta yang sudah Ibu habiskan untuk pengobatan Putri. Aku pribadi jujur tidak sanggup berada di posisi mereka. Banyak orang-orang yang ujiannya lebih berat dibandingkanmu, Gung. Masa baru segitu aja udah putus asa?

***

Kasih yang Ditolak

Bukan, aku bukan mau cerita pengalaman tentang ditolak cinta. *sambil kibas rambut. Soalnya aku nggak pernah ditolak, seringnya diabaikan.

Baik-baik, aku ingin cerita tentang kasih dalam bentuk lainnya. Mudik sebelum bulan puasa ke Bandung, aku lebih sering menghabiskan waktu buka puasa di mesjid. Cukup jarang buka di rumah boro-boro bukber di luar.

Uang di dompet lagi sedikit, selain ingin nyumbang takjil (dengan budgt seadanya)di mesjid aku juga mencoba balance dengan beli makanan buka puasa untuk orang rumah. Lebih mahal malah. Martabak telor, telor bebeknya 2 lagi. Spesial deh.

Istilahnya mah, minimal-minimal atuh nggak bisa ngasih ke orang tua mah sesekali beliin makanan buat buka puasa. Itu pikirku. Tapi tahukah, Kawan, apa respon orangtuaku ketika menerimanya?

“Yahhh. Kirain gorengan.”

Degh. Kok ada sesuatu yang sakit ya di hati. Semacam kasih yang tertolak. Rasanya lebih sakit ketika tahu gadis imut kenalanmu itu ternyata beberapa tahun lebih tua, udah nikah dan anaknya udah sekolah SD.

Akhirnya kusimpan dalam hati saja kekecewaan atas kasih yang tertolak itu. Kalo dipikir2 lagi ini bukan kali yang pertama sihhh. Kasusnya di mana kamu sebenarnya kesulitan untuk berbagi kasih, secara duitnya memang kelewat sedikit misalnya, tepat saat kamu mencoba untuk tulus lalu pemberianmu itu ditolak. Sakitnya tuh di pencernaan, minum entrostop supaya lancar. Hahaha.

Beberapa waktu sebelumnya, saat pulang ke Bandung, malam2 sengaja gak naik ojeg walaupun ada ojeg dari Cileunyi tuh, menyusuri jalan beli sekantong buah jeruk mini yang kalau duitnya lebih mah harganya gak seberapa. Tapi karena lagi-lagi sedang tipis. Ckckck dah.

Jawaban apa lagi yang aku terima?

“Jeruk kayak gini mah nggak manis.”

Beuhhhhh. Sulit dilukiskan dengan kata-kata rasa sakitnya.

Oya, bahkan jauh pas aku masih SMP. Penolakan ini sudah kuterima.

Capek-capek bantu qurban di sekolah, mengeluarkan tenaga sendiri pula dengan rasa bangga dibandingkan jadi anak kecil yang ngantri kupon di mesjid, sekalipun cuma bawa sekresek kecil daging n tulang domba.

Lalu gimana responnya?

“Yahh cuma segini. Dibilangin tinggal minta ke mesjid nanti dapat banyak.”

Mungkin sejak saat itu aku tak paham tentang ketulusan. Yang berarti hanyalah ketika kamu bisa memberi banyak, bukan sedikit. Yang penting ialah saat kau bisa mengasihi hal yang diharapkan, bukan hal sebaliknya.

Itulah. Kasih yang tertolak itu yang justru berkesan dan memberi arti lebih tentang ketulusan. Sejauh mana ketulusanmu, Gung? Apakah jika kamu ditolak, kau kan berhenti berbagi?

Aku malah sering lupa tentang kasih yang kuberi di kala lapang dengan jumlah yang relatif lebih besar. Ini loh, yang sedikit di kala sempit, lalu ditolak lagi. Duh duh duh.

Jengkel, iya. Ingin stop mengasihi, iya. Tapi mencoba berbagi dengan tulus, tak penting besar kecilnya jumlah, tak masalah diterima atau ditolak oleh orang lain bahkan oleh orang yang kita kasihi, adalah suatu perjalanan panjang hingga akhir hidup ini, hingga kematian menjemput.

Akankah kita memiliki ketulusan seorang perempuan yang memberikan minum pada seekor anjing, yang dengan itu menghapuskan dosa-dosanya dan mengantarnya mendapatkan Ridho Allah. Aku tak boleh berhenti.

***

Teman-teman, saya dan Agus Ginanjar lagi jalan wakaf quran tahap 2 nih. Untuk Tpa/Tka di Sumenep, Madura dan Lombok Timur. Kalau mau gabung ikut donasi buat wakaf quran bisa sms/whatsapp di 0838.9198.2414 atau inbox aja yak. Makasih.

Yuk bareng-bareng belajar berbagi dengan tulus. ^^

Ustadzah Dewi

Ada yang berbeda saat aku tinggal di kampung rambutan. Bahkan di perantauan yang lain atau sekalipun di rumah orang tua di Bandung, tak pernah kualami sensasi #halah seperti ini sebelumnya.

Setiap bada Isya dari rumah tetangga sebelah, suara ngaji anak-anak terdengar menembus tembok. Suara yang amat khas, lebih mirip teriakan malah seperti kita mengaji saat kecil dulu.

Tak pernah ada dalam benakku sebelumnya, di Jakarta ini masih ada warganya yang menyediakan waktu khusus di rumahnya pula untuk mengajarkan anak-anak mengaji.

Bagiku ini jadi kenikmatan tersendiri, setiap bada Isya mendengar lantunan anak-anak mengaji. Tidak syahdu memang. Hei, hotel bintang lima pun tak ada experience kayak gini.

Beberapa waktu kemudian aku baru tahu kalau yang mengajar mengaji anak-anak ialah Ustadzah Dewi atau biasa dipanggil Teh Dewi. Aku jadi teringat dengan adik seorang teman di Palembang, gadis itu biasa dipanggil Bu Ustadzah karena terbiasa mengajar ngaji anak-anak di kosan. Oya, teman sdku pun dulu rutin mengajar ngaji anak-anak di rumahnya. Masih satu Rt, tapi beda gang jadi tak ada sensasi mendengar suara ngaji anak-anak dari balik tembok.

Kawan, aku selalu kagum pada orang-orang yang mengabdikan dirinya untuk mengajar ngaji anak-anak. Ya, kadang-kadang mereka dibayar tapi tidak sebanding dengan pengorbanan yang mereka berikan. Jika bukan karena Allah, entah apa lagi balasan yang setimpal dengan upaya mereka.

Di belahan bumi Indonesia lainnya, aku berjumpa lewat dunia maya dengan orang-orang yang mengajar ngaji ini. Namanya Mas Taufik di Sumenep dan Erfan di Lombok Timur, di tengah kesibukan dengan segala keterbatasan yang ada, mereka tetap aktif mengajar ngaji anak-anak. Tak masalah iqro dipakai bergantian atau bermodal quran lama sumbangan dari warga.

Boleh jadi di sini lah aku dan Agus Gin-anjar mengambil peran, mungkin bukan sebagai guru ngaji. Yang kami lakukan adalah menjalankan program wakaf quran untuk membantu orang-orang seperti Ustadzah Dewi, Mas Taufik atau Erfan yang tulus mengajar ngaji anak-anak.

Ya, sejak kemarin hingga 7 September nanti, kami menggalang dana wakaf quran tahap 2 untuk Tpa/Tka quran di Sumenep dan Lombok Timur. Dana yang terkumpul digunakan untuk mencukupi kebutuhan quran dan iqro di 2 tempat tersebut. Tak menutup kemungkinan kita bisa membantu kebutuhan al quran dan atau iqro di madrasah/rumah tahfizh/pesantren di lokasi lainnya juga dengan wakaf quran bareng-bareng ini.

Buat teman-teman yang mau ikut donasi untuk wakaf quran ini bisa inbox fb, sms/wa ke nomorku 0838.9198.2414 atau juga menghubungi Agus.

Mari berbuat sekecil apapun untuk membuat dunia lebih baik.

Melangkah Lagi: Menebar Quran

image

Kawan, pernah merasakan momen melegakan? Rasanya seperti seorang pelari marathon sampai di garis finish.

Terlibat dari proses awal mulai dari menemukan target wakaf, menggalang dana, mengirimkan quran sampai akhirnya mushaf sampai di tangan yang membutuhkan itu rasanya melegakan. Hehehe.

Apa yang aku dan Agus Gin-anjar bukanlah hal fantastis seperti menebarkan sejuta atau seribu quran memang, hanya aksi sederhana menginisiasi program wakaf quran. Dengan kuasa Allah, 32 quran dari belasan wakaf mendarat sempurna di Mts Al Mustaqim 2, Sungai Raya, Kubu Raya, Kalimantan Barat.

Oya, beberapa hari lalu aku baru tahu jika letak Mts tersebut jaraknya 17 km dari kantor pos terdekat. Jauh sekali, bayangkan jarak antara Taman Mini sampai Kota Tua.

“Apa nggak berat bawa mushaf qurannya, Mba? Itu beratnya 20 kg lohhh.” tanyaku pada Mba Retno.

“Sudah biasa kok, Mas. Kalau ikhlas insya Allah semua yang berat jadi mudah.”

Ketika Mba Retno mengirimkan foto anak-anak Mts memegang mushaf quran rasanya sungguh melegakan. Hei, ada belasan pewakaf yang mempercayai aksi kami ini. Harapan kami sederhana, semoga mushaf quran itu bisa bermanfaat dan membuat anak-anak Mts Al Mustaqim bersemangat tilawah setiap memulai aktivitas pagi. 😀

Tentu saja ini bukan akhir. Bisa menemukan platform/program/sosial bisnis yang bisa memberikan mushaf quran pada yang membutuhkan secara berkelanjutan adalah cita-citaku. Aku senang menyarankan agar kalian membaca buku “Mengubah Dunia Lewat Sepatu” Blake Mycoskie atau googling nama penulisnya dan juga Toms Shoes. Pesan bukunya di aku juga bisa. #ehhhh

Setelah mengambil jeda 1-2 pekan, kami memulai wakaf quran tahap kedua ini. Semalam malah Agus mengabari seorang teman sudah transfer untuk ikut wakaf quran. Tka quran dengan 30 santri di Lombok Timur dan Tpa quran dengan 25 santri di Sumenep jadi target penerima wakaf tahap 2 ini. Mudah-mudahan kita bisa membantu mereka dengan maksimal.

Kami ingin fokus menjalankan program wakaf quran ini untuk rumah tahfizh, pesantren, madrasah atau grup pengajian di luar Jawa yang memang benar-benar membutuhkan. Dan minimal sebulan sekali program wakaf quran ini bisa berjalan. Hehe.

Kalau teman-teman punya kenalan relawan atau orang yang sedang merintis rumah tahfizh, madrasah, pesantren, grup pengajian yang benar-benar membutuhkan quran, bisa kabari aku. Semoga dengan kekuatan bersama, kita bisa bantu mereka.

Buat yang ikut gabung untuk wakaf quran, bisa hubungi Agus atau aku, bisa lewat inbox fb atau sms/whatsapp aja ke 0838.9198.2414.

Rencananya penggalangan dana wakaf dimulai hari ini sampai 7 September 2015. Mari melangkah lagi: Menebar Quran.

Nggak perlu nunggu soleh atau solehah dulu. ^^v

Ketika Tuhan Membuka Pintu Mimpi Idealisme Kedesaan

Pelatihan Penelitian Desa

Haloo… Saya Agung Dodo Iswanto, seorang anak muda 25 tahun yang bermimpi membantu anak-anak di seluruh dunia lewat buku, mengalahkan Gramedia dan Amazon di Amerika. Mengikuti jejak Blake Mycoskie yang mengubah dunia dengan sepatu Toms Shoesnya.

Saat ini aku belum tahu bagaimana caranya atau menemukan jalan yang tepat untuk mewujudkannya. Aku seperti seseorang berbekal parang di tengah hutan, membabat rumput dan  alang-alang untuk membuka jalan. Jalan menuju rumah impian. Seperti itu.

Aku merasa CV saja tidak cukup untuk menggambarkan seorang Agung, tak banyak prestasi cemerlang yang kuraih memang. Tapi sesuatu tentang desa membakar semangatku sekaligus menumbuhkan ketegangan yang menyenangkan. Takut sekaligus tertantang.

Kamis (13/8) pagi seorang teman yang juga tinggal di sekretariat Forum Lingkar Pena Jakarta, Nur Afilin, mengecek berkas foto dan video di whatsappnya. Air mukanya berubah antusias ketika melihat foto tentang pelatihan penelitian desa yang diselenggarakan Sekolah Rakyat Payo-Payo.

“Bro, ada kegiatan bagus nih. Lo harus ikutan.” Ujarnya.

Tiga bulan pelatihan di Sulawesi? Can you imagine? Aku berkata pada diriku sendiri setelah memperhatikan foto poster itu.

Memoriku langsung melayang ke bulan Ramadhan tahun 2014, saat itu aku berinisiatif untuk mewawancarai Pak Singgih Susilo Kartono, desainer dunia asal Temanggung, Jawa Tengah, yang mengembangkan desa Kandangan dengan produk Radio Kayu Magno. Radio Magno karyanya sudah diekspor ke berbagai negara dan berbagai penghargaan sudah dia raih. Apalagi idealisme kedesaan yang dianutnya membuat semangatku terbakar. Sayangnya aku masih menyadari kelemahanku dalam hal karakter dan pengalaman untuk mengembangkan desa.

Tertantang sekaligus antusias, tapi di saat yang sama juga ada ketakutan apakah aku bisa melakukannya atau tidak, untuk mengikuti pelatihan penelitian desa ini. Aku tak tahu apakah kesempatan ini akan datang dua kali jika sekarang aku tidak mengirimkan CV di hari terakhir ini.

Harapanmu apa, Gung?

Sederhana saja, aku bisa bermanfaat dan berkontribusi dalam penelitian desa ini. Selalu menyenangkan jika apa yang kita lakukan bisa sedikit membantu orang-orang. Mendapatkan pengalaman dan pemahaman tentang idealisme kedesaan untuk kelak bisa aku aplikasikan sendiri di tempat kelahiran Ibuku. Saat ini aku masih terlalu lemah dan kurang pengalaman, banyak hal yang harus kupelajari dan aku merasa akan mendapatkannya di pelatihan penelitian desa nanti.

Selalu ada ketakutan, keraguan apakah aku bisa atau tidak, ketika melangkah melakukan sesuatu hal yang baru dan mewujudkan mimpi. Tapi itu bukan masalah karena Tuhan sudah melatihku untuk itu.

Mulai dari berperan jadi pengangguran lulusan SMA yang bekerja di berbagai tempat yang tak pernah berkaitan satu sama lain. Menjadi seorang kuli garment yang pindah dari Bandung ke Jakarta untuk mengejar mimpi jadi penulis, sejajar bersama para akademisi dan berbagai macam orang belajar menulis di FLP Jakarta, sampai akhirnya diajak bergabung ke salah media Islami yang paling eksis saat ini. Berkesempatan menjadi jurnalis mengakses ilmu di berbagai seminar, workshop, talkshow lalu bertemu dengan orang-orang hebat, membaca buku dan melakukan perjalanan ala backpacker ke berbagai daerah di Jawa dan Bali hingga mengantarku menempuh jalan wirausaha sebagai percepatan untuk naik kelas dan mandiri.

Aku tak sabar untuk mengikuti pelatihan penelitian desa Sekolah Rakyat Payo Payo ini.

***

Mencari Ketenangan Hati di Halte Bus TJ UKI

Kawan, maaf ya kalau beberapa tulisanku ini sangat terkait dengan bus Trans Jakarta. Ya jujur saja, selain kadang aku menulis saat di perjalanan dengan bus, aku juga sudah topup 50 ribu kartu flazz cuma untuk Bus TJ saja. Aku berhemat ketat banget dengan mengandalkan Bus TJ selama bepergian, sengaja menghindari angkot, kopaja atau bus lainnya.

Oya, yang pasti aku sudah menyiapkan hati dan menurunkan ekspektasi saat menggunakan Bus TJ. Jadi ya nggak terlalu kesal saat harus berdesak-desakan dengan penumpang lain di dalam bus, nggak terlalu dongkol ketika jalur bus (busway) macet parah karena diserobot kendaraan lain. Terakhir jarak yang yang sebenarnya pendek namun karena pakai Bus TJ ya jadi sedikit berputar dan butuh waktu lebih lama untuk sampai di tujuan. Semua itu sudah tidak terjalu jadi masalah. It’s okay.

Terus apa maksudmu mencari ketenangan hati di halte Bus TJ UKI, Gung?

Aku dapat hikmah sederhana nih, Kawan. Gimana caranya dalam sepersekian detik, kita mengubah hati yang gundah gulana menjadi tenang. *Eaaaaa.

Selasa (11/8) sore, pulang dari acara talkshow tentang Islam di Amerika yang dihelat di @Amerika, Pacific Place, yang diisi sama Ustadz Aa Gym, Ustadz Yusuf Mansur dan Imam Shamsi Ali, aku naik Bus TJ dari Semanggi untuk transit dulu di halte BNN. Tumben nih 2-3 halte lagi jelang BNN, aku dapat tempat duduk kosong. Tidak ada orang lanjut usia, ibu hamil atau orang yang bawa anak kecil gitu kan. Tenang dah rasanya. Hehehe.

Karena merasa kaki ini masih pegel-pegel, akhirnya aku tidak turun di BNN tapi lanjut sampai halte UKI. Walaupun biasanya di halte UKI penumpang yang ngantri naik bus ke arah Kp Rambutan membludak, tapi tak apa lah.

Aku kaget saat sampai UKI penumpang yang antri naik bus ke Kp Rambutan ternyata sedikit, sebaliknya dengan penumpang yang antri naik bus ke Taman Mini. Penuhnya poll. Aku berinisiatif bertanya pada petugas bus TJ di halte kalau antrian ke Kp Rambutan yang lewat tol sebelah mana. Dilalah, tak lama setelah mendapat jawaban dan sedikit berlari ke pintu antrian. Bus TJ jurusan Kp Rambutan yang lewat tol tahu-tahu sudah menaikan penumpang dan menutup pintu.

Aarrrrggghhhhh! Telattttt!

Sepersekian detik itu juga aku langsung mengubah pikiran, mindset. Coba berpikir positif, husnudzon lahhh. Aku pasti dapat yang lebih baik. Pikirku. Alhamdulillah seketika itu juga aku tenang.

Tak menunggu lama, ada bus TJ gandeng yang lewat tol tapi langsung ke terminal Kp Rambutan, biasanya kan keluar tol HEK terus transit dulu di halte Pasar Induk, Harapan Bunda dan Pasar Rebo. Rasanya seperti juara satu lomba menulis aja, aku langsung masuk dan mencari posisi yang kosong di belakang. Beuhhh, nggak cukup itu aja aku dapat bonus juga. Ada beberapa penumpang yang berdiri dari tempat duduknya karena baru sadar bus ini tidak transit di Pasar Rebo.

Alhamdulillah… dapat tempat duduk lagi toh tidak banyak penumpang yang berdiri ini. Mereka yang jadi prioritas mendapatkan kursi di bus pun sudah duduk semua. Bonusnya tambah lagi karena aku sampai pas maghrib di Kp Rambutan, jadi nggak seperti beberapa hari yang lalu baru salat maghrib 20 menit jelang masuk waktu Isya di mesjid dekat halte Harapan Bunda.

Kalau bahasanya Aa Gym dan Yusuf Mansur, husnudzon aja sama Allah. Berpikir positif aja sama Allah ketika apa yang kita inginkan nggak kesampaian. Contohnya kejadian sederhana yang kualami ini, telat naik bus TJ yang lewat tol HEK, ehhh malah dapat bus TJ yang wushhh langsung ke Kp Rambutan terus dapat tempat duduk lagi. Alhamdulillah terusss.

Kalau kamu malah nggak dapat bus TJ yang langsung ke Kp Rambutan terus nunggu busnya lama banget gimana, Gung? Apa pikiran positifmu sia-sia?

Oo nggak ada yang sia-sia, Kawan. Ketika aku memutuskan tuk berpikir positif, seketika itu juga aku mendapat ketenangan hati. Nggak kesel, nggak dongkol, nggak uring-uringan yang semua itu jelas ngabisin pikiran dan tenaga. Jadi itu lah kenapa aku memberi judul tulisan ini, “Mencari Ketenangan Hati di Halte Bus TJ UKI”.