Al-Qur’an, mulai dari mana?

Dari mana kita harus memulai? Ketika musaf tergeletak begitu lama di atas rak buku. Debu menutupi covernya. Lama sekali tangan ini tak menggenggamnya, membuka lembaran demi lembaran.

Entah di surat apa, ayat berapa, terakhir kali membacanya. Jangan tanyakan tentang arti dan maknanya. Tertatih-tatih diri ini membaca tiap huruf demi hurufnya.

Dari mana kita harus memulai?

Bukalah gadget yang tiap hari tak pernah lupa dibuka itu. Buka aplikasi video berwana merah. Jika sepakbola, politik, komedi atau hal-hal yang biasa kita cari. Sekarang cobalah ketik nama salah satu surat yang ingin kita dengar.

Lalu dengarkanlah.

Rasakanlah kita begitu ingin mendengarkan ayat-ayat Allah. Ayat demi ayat yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad. Ayat- demi ayat yang kita Imani huruf demi hurufnya. Surat cinta dari Allah SWT khusus untuk kita, hamba-Nya.

Begitu merdu ayat Al-Quran itu hadir di telinga kita. Sungguh Al-Quran itu rindu untuk kita baca. Meski masih terbata-bata kita dalam membacanya. Walaupun amat sedikit ayat-ayat Al-Quran yang sudah kita hafal.

Lalu bacalah. Dengan segenap hati. Bacalah sembari meyakini ayat-ayat Allah itu turun untuk kita, menjadi petunjuk hidup kita.

Tidak ada yang sia-sia. Meski masih keliru lidah ini dalam membacanya. Walaupun kita belum paham maknanya.

Mulailah untuk menyukai duduk di majelis ilmu. Bukankah apa yang disampaikan oleh para ‘Alim, ‘Ulama, itu adalah ayat-ayat Allah yang saat ini kita belum tahu maknanya?

Setelah itu…

***

Temanggung, 27 November 2023

Ketika hati ini rindu Masjidil Haram…

Ikan dan Semut

“Ikan!” seru Una, anak kami yang belum genap berusia 2 tahun.

“Itu elang, Una!” jawabku. Sambil menunjuk ke arah patung burung garuda.

“Ikan!” serunya lagi.

“Itu elang, Sayang!” sambil terus menunjuk ke lambang negara Indonesia.

***

Di kesempatan lain ketika membacakan buku –lebih tepatnya menceritakan gambar yang ada di dalam buku. Una mengucapkan satu kata lagi yang membuatku terheran-heran.

“Semut!” ujarnya.

“Itu bukan semut, Sayang.”

***

Apa yang kita lihat, kadang tidak dilihat oleh orang lain. Kita bisa menemukan kebaikan di satu sisi, namun ternyata kebaikan yang sama tidak dilihat oleh orang lain. Atau sebaliknya, ternyata kita tidak bisa melihat kebaikan yang orang lain lihat.

Jadi tidak usah panik, tidak usah khawatir, tidak pula kudu keukeuh dengan prinsip, idealisme, pendapat atau apapun yang kita pegang–ketika orang lain tidak menganggap atau melihat hal yang sama. Mungkin mereka melihat hal yang berbeda.

Karena dari seorang Ayah dan belahan jiwanya yang baru 21 bulan itu, apa yang mereka lihat bisa berbeda.

***

Di ruang tamu sahabat kami itu, ternyata ada miniatur pesawat garuda. Tepat di atas meja, di bawah patung garuda berada, yang kukira elang. Miniatur pesawat itulah yang dikira anak kami, ikan. Lalu di tikar tempat kami membacakan buku, melintas seekor semut yang sebelumnya tak bisa kucermati.

***

Al-Qur’an dan Akhlak Anak Kita

Jam istirahat belumlah usai. Seorang siswa kelas 6 sengaja datang ke ruang Ustadz. Menghampiri gurunya, menawarkan membawakan meja dan karpet.

“Biar saya bawakan meja dan karpetnya, Ustadz!” tuturnya.

Di waktu yang lain, ketika melihat gurunya menggendong balita sekaligus membawa meja lipat dan karpet, seorang siswi kelas 5 tanpa diminta langsung membantu membawakan meja lipat & karpet itu.

Pengalaman terbaik hadir saat pembelajaran tahfiz di kelas 2. Setelah dua pekan pembelajaran di kelas, Jumat pagi kembali tahfiz berbasis kelompok. Sebelum gurunya hadir dan bahkan waktu KBM pun belum mulai, para siswa bahu membahu menghamparkan karpet dan menata meja lipat untuk pelajaran tahfiz.

Sungguh bahagia ketika pembelajaran tahfiz berdampak ke akhlak dan adab para siswanya. Anak ringan membantu tanpa disuruh, belajar memiliki inisiatif, dan memuliakan guru dengan sikap yang baik.

Teringat dengan nasehat seorang Ibu kepada anaknya.

“Nak, tuntutlah ilmu. Aku yang mencukupimu dengan tenunanku. Nak, jika kamu telah menulis sepuluh hadits, maka lihatlah jiwamu apakah ia bertambah takut, lembut dan wibawa. Jika kamu tidak melihat itu ketahuilah bahwa ia membahayakanmu dan tidak manfaat bagimu.”

Dari bimbingan Ibu yang luar biasa itulah lahir seorang pakar ilmu besar bidang hadits dan faqihnya Arab. Sufyan ats Tsauri rahimahullah.

Sungguh kebahagiaan tak terkira ketika anak lancar membaca ayat demi ayat Al-Qur’an. Bisa menyetorkan hafalan surat An-Naba sampai An-Nas sekali duduk. Juz demi juz dibaca dan dihafalkannya.

Tapi wahai Ayah, duhai Ibu, kita wajib cemas, kita harus takut. Jika hafalan anak-anak kita bertambah, tapi tak ada perubahan pada adab dan akhlaknya. Semakin lancar bacaan Al-Qur’an mereka, tapi salat lima waktu tak terjaga.

Sudah saatnya berdialog dengan anak-anak kita. Sampaikan kebahagiaan kita melihat mereka berjuang membaca dan menghafalkan Al-Qur’an. Tidak semata-mata berapa ayat, surat, atau juz yang mereka hafal.  

Nasihatkan kepada mereka begitu sengsaranya orang-orang yang menghafal Al-Qur’an tetapi hanya diniatkan untuk meraih dunia. Bukankah orang pertama yang merasakan api neraka adalah penghafal Al-Quran yang hanya mengharap pujian manusia? Ingin disebut Qari?

Temanggung, 5 Maret 2023

Referensi: website parentingnabawiyyah

“CATATAN RAMADAN YANG TERTUNDA?”

skysports-belgium-japan-world-cup_4351691
Istiqomah 1000 kali lebih baik dari Karomah.
 
Rajin pangkal pandai. Hemat pangkal kaya.
 
Pernah dengar pepatah itu? Mungkin kalau dibreakdown akan jadi perdebatan. Beneran hemat pangkal kaya? Justru dengan banyak sedekah pangkal kaya. Atau bisnis pangkal kaya dan sebagainya. Tapi daripada diksi ‘pandai’, ‘hemat’ dan ‘kaya’. Aku lebih tertarik dengan kata ‘Rajin’. Satu kata yang amat kurindukan. Kenapa? Karena aku belum memiliki diksi itu.
 
Istiqomah. Bukan nama seorang teman yang sudah menikah di sana. Tapi tentang kemampuan kita melakukan sesuatu tanpa jemu. Seperti baca alfatihah, kan nggak bosan-bosan tuh. Begitu juga dengan sholat lima waktu. Kalau sampai solat dan baca alfatihah sampai bosan, wah nggak ngerti deh nasib kita bagaimana di akhirat kelak.
 
Apa yang tertunda, Gung?
 
Tulisan ini. Mungkin tidak banyak yang memperhatikan, di bulan puasa lalu aku nulis tentang “Çatatan Ramadan”. Lupa sudah sampai part atau bagian ke berapa. Ya, itu dalam rangka nulis buku. Bikin naskah awal buat buku. Sayang itu tadi, aku belum “Istiqomah”. Belum berakrab ria dengan diksi “Rajin”.
 
Memang mau nulis tentang apa, Gung?
 
Nulis tentang motivasi belajar Quran. Ah ya, bahkan seseorang yang sedang menulis artikel ini juga butuh dimotivasi. Kadang suka merenung dengan pertanyaan teman. Memangnya kalau di kota lain nggak bisa belajar Al Quran? Bisa sih. Cuma kok ya baru di kota ini bisa rutin (dan kepaksa lingkungan) solat berjamaah di masjid. Bisa ketemu Quran tiap hari. Baca, nambah hafalan dan murojaah. Ya, aku masih sangat bergantung pada lingkungan. Belum terbentuk habit dalam diri ini.
 
Pernah ada seorang teman bertanya. Kok bisa gitu, Mas? Bukannya udah dua tahun ya di sana. Iya, jika kebiasaan bisa dibentuk dalam 40 hari, mungkin aku terlalu bebal untuk bisa melakukannya. Dua tahun aja masih begini-begini saja. Tapi eh, banyak juga sih perubahan positifnya. Alhamdulillah.
Oke kembali lagi ke buku motivasi belajar Quran.
 
Ya, inilah tulisanku kembali. Kalau bahasa sepakbolanya, seperti Belgia yang ketinggalan dua gol dari Jepang, terus bisa comeback menang 3-2. Semacam itu lah ya. Sudah sebulan lebih vakum nulis proyek buku ini. Sekarang waktunya balik lagi buat nulis. Ya perjalanan masih panjang. Draft kasar aja masih belum jadi istilahnya.
 
Tapi its okey. Kita mulai lagi detik ini juga. Terus kaitannya dengan Al Quran? Seperti ini lah juga. Bisa jadi kita semangat banget ngafal Quran, ikut kelas tahsin, bikin program dan lain sebagainya. Lalu untuk satu waktu kita malah nggak buka musaf sama sekali. Bisa jadi dalam berapa hari, seminggu, sebulan, berbulan-bulan atau malah tahunan.
 
Selama kita masih hidup, masih diberi nikmat waktu dan nafas oleh Allah. Kita selalu bisa memulai kembali segalanya, Kawan. Yuk kita buka Al-Quran lagi.
 
Kemarin juga ‘kepaksa’ buka musaf Al Quran lagi karena harus menemani adek-adek SMP dan SMA belajar tahsin dan tahfizh juz 29,30. Kita selalu bisa mulai belajar Quran, kapanpun dan dimanapun, Kawan. Syukur-syukur pas kita lagi down, ada orang atau lingkungan yang bisa memaksa kita untuk kembali berdekatan dengan Al Quran.
 
Karanganyar, 16 Juli 2018
Selepas setahun vakum menulis untuk buku perdana ini.

Apakah orang yang kau cintai mendekatkanmu pada Rasulullah?

 

Download-Mp3-Kajian-Ustadz-Hanan-Attaki-TerbaruUstadz Hanan Attaki dan Via Vallen

Apa persamaan keduanya? Yang satu Ustadz muda yang lagi digandrungi sama anak muda. Kajian-kajiannya baik yang digelar di masjid atau ballroom Hotel dipenuhi oleh Jemaah. Suara si Ustadz aja bisa bikin histeris akhwat-akhwat. Kerennya jika biasanya kajian itu didominasi oleh cewek, kalau founder Pemuda Hijrah malah bisa narik cowok-cowok yang doyan motor, nongkrong dan sebagainya buat ngaji. Coba lihat tiap ngaji di Mesjid TSM, anak muda kaosan sampe baju koko ada.

Kalau Via Vallen kurang tahu sih. Tapi yang pasti follower mbak yang nyanyi lagu Sayang ini lebih banyak dari Si Ustadz. Persisnya berapa nanti bisa dicek lagi. Sering terpaksa dengar kalau lagi di bus Solo-Tawangmangu. Selintas baca berita tentang dia, lagu Dangdut yang biasanya identik sama orangtua kini digandrungi anak muda juga. Secara penampilan si mbak ini memang muda banget.

Kesamaan keduanya sama-sama muda dan punya follower buanyak di Instagram. Jadi idola baru anak muda—walaupun beda segmen tentunya.

Kita rada-rada naif. Jika ditanya siapa idola kita?

Orang Islam pasti jawabnya Nabi Muhammad.

Tapi apa benar begitu? Seberapa kenal sih kita dengan Rasulullah? Ah, mungkin kita malah lebih sering kepoin sosmed Via Vallen daripada baca siroh nabawiyah.

Kita? Eh, kamu aja kali.

Sebelum kita benar-benar meneladani Rasulullah, mengenal Nabi Muhammad Saw, boleh jadi kita butuh idola-idola kecil. Teladan-teladan kecil. Kenapa?

Gini deh. Rasulullah nggak kenal. Baca siroh kagak. Solat berjamaah ke masjid jarang banget. Ikut kajian pas Jumatan tok itu pun sambil ngantuk-ngantuk. Orangtua juga nggak jadi teladan di rumah.

Terus mau kenal Rasulullah dari siapa?

Kita butuh orang-orang yang mengenalkan kita pada Rasulullah. Kita butuh guru-guru yang mengajarkan kita tentang Nabi Muhammad SAW.

Itu lah kenapa kita butuh Ustadz Hanan Attaki, Muzamil Hasballah, Ibrahim Elhaq, Ustadz Abdul Shomad dll. Terlepas dari mungkin perbedaan fiqih dan semacamnya. Malah mungkin ada yang kurang sreg ketika pengajian kok Si Ustadznya nggak ubahnya diperlakukan seperti artis.

Kita butuh idola. Kalau tidak sreg dengan istilah “idola”, kita butuh guru yang menceritakan tentang Rasulullah. Kita butuh orang-orang yang mengajarkan kita mencintai Rasulullah.

Hari ini kita ngefans sama Muzzamil misalnya, lalu Ustadz Hanan Attaki, lalu Ustadz siapa lagi dan seterusnya. Tentu saja tujuannya bukan mengkultuskan mereka. Atau jadi die hard fans mereka.

Lewat tausyiah menyentuh atau lantunan ayat suci nan merdu. Itu semua bisa jadi jalan hidayah bagi seseorang untuk mengenal agama ini.

Bisa Hafal Quran Walau Belum Lancar Baca Quran, Mau?

an-naba 1-5

Wah judulnya provokatif dan tidak ilmiah nih. Masa bisa hafal Quran tapi belum bisa baca Quran? Penulisnya sesat nggak nih jangan-jangan.

Tenang-tenang! Sebenarnya kita sudah membuktikan teori ini.

Apa buktinya?

Coba aja tes baca alfatihah pasti hampir semua muslim lancar dan hafal di luar kepala. Tapi kalau disuruh baca Quran di surat dan ayat lainnya apa semuanya lancar? Jawabannya tidak.

Kita sudah mengenal al fatihah sejak anak-anak. Sejak kita bahkan belum kenal dan hafal huruf-huruf hijaiyah. Tapi karena surat alfatihah itu mungkin sampai ribuan kali kita dengar maka jadi hafal dengan sendirinya. Kita yang usia dewasa sekarang apa masih ingat kapan pertama kali belajar alfatihah? Sebagian besar akan menjawab tidak.

Lalu bagaimana cara bisa hafal Quran tapi belum lancar Quran?

Ada caranya. Tidak ada nama metode khusus sebenarnya. Istilah umumnya talqin, gambaran singkatnya Ustadz mencontohkan satu ayat atau baris lalu santri mengulangi persis seperti yang dicontohkan. Pengulangan ini tidak hanya sekali. Bisa lima kali, sepuluh kali atau sebanyak yang dibutuhkan.

Kalau tidak bisa langsung hafal satu ayat atau satu baris bagaimana?

Di sini lah perlu kejelian si Ustadz. Jika santrinya yang mayoritas sudah tidak muda lagi ini, maka yang awalnya satu baris bisa dibagi menjadi dua bagian. Kalau masih terlalu panjang, satu baris atau satu ayat bisa dibagi menjadi empat bagian. Setiap bagian ditalqin.

Sedikit berbagi pengalaman menghafal juz 30 ketika di ICID. Salah satu unit dari Ma’had Tahfizhul Quran Isykarima yang fokus membina masyarakat umum belajar tahsin dan hafal juz 30. Pertemuannya intensif dari Senin sampai Kamis setiap pekannya. Dari jam 4 sore hingga 8 malam. Programnya selama setahun.

Jika dari jam 4 sore sampai maghrib belajar klasikal mendengarkan tausyiah tentang aqidah, fiqih, siroh nabawiyah dan ilmu tajwid. Jika dari bada maghrib sampai jam 8 malam fokus tahsin dan hafalan juz 30. Nah di sinilah intinya.

Jika kita hanya belajar quran seminggu sekali sama Ustadz ya bakal lama pintarnya. Tapi kalau empat kali seminggu? Selain berharap bacaan kita jadi lancar dengan intensif belajar, kita juga bisa dapat oleh-oleh hafalan juz 30.

Lalu praktek menghafalnya bagaimana?

Mulai dari anak SMA, pekerja sampai kakek 60an tahun ada. Tentu kemampuan membaca dan menghafal Quran mereka berbeda-beda. Pertama dikelompokkan dulu dengan yang selevel istilahnya. Satu Ustadz mengampu 5-10 santri. Tergantung banyaknya santri dan kapasitas Si Ustadz.

Misal diputuskan menghafal dari surat An Naba. Santri tidak diminta membaca surat An Naba satu halaman dulu sampai lancar misalnya. Tapi si Ustadz mencontohkan ayat pertama saja dulu.

78_1

‘amma yatasaa-aluun

Setelah Ustadz mencontohkan satu kali, lalu para santri mengulangi secara bersama-sama. Ustadz mencontohkan ayat yang sama sekali lagi, santri mengulangi lagi. Terus begitu bisa lima kali, sepuluh kali atau sebanyak yang dibutuhkan.

Setelah itu para santri diminta untuk menyetorkan ayat pertama surat an-naba itu.masing-masing. Jika belum benar, maka Ustadz akan mengulangi proses yang pertama tadi.

Setelah hafal, ayat yang kedua ditalqin lagi. Sudah hafal lagi, ayat ketiga ditalqin lagi. Jika ayat pertama, kedua dan ketiga sudah hafal, maka dihafalkan satu baris langsung. Karena dalam surat an-naba ini satu baris pertama terdapat tiga ayat. Disambungkan ayat satu sampai tiga. Jika masih kesulitan dalam menyambungnya, maka Ustadz akan talqin langsung tiga ayat. Dicontohkan lagi, lalu diikuti lagi sembari dibenarkan yang salah-salah.

Tidak terasa dalam satu pertemuan bisa hafal satu baris atau tiga ayat surat an-naba. Jika santrinya masih muda bisa nambah beberapa ayat atau baris. Jika santrinya sudah sepuh dan sulit menghafal misalnya, tak masalah dalam sehari hanya dapat satu ayat atau sepertiga baris.

Proses ini berlangsung selama empat kali seminggu. Selama setahun penuh. Dengan izin Allah, para santri yang mungkin dari pagi sampai sore bekerja atau sekolah, ternyata bisa menghafal juz 30. Bahkan sebagiannya ada yang bisa menambah hafalan juz 29 malah atau lebih.

Jika begini caranya, sembari belajar membaca Quran ternyata kita bisa menghafal Quran kan?

Futsal Sejam Kuat, Kok Solat Sejam Nggak Kuat?

 

Futsal-World-Cup-Wallpaper-Pic-1024x576Pernahkah kita punya keinginan untuk ikut solat tarawih satu juz? Jika kita masih belum bisa menikmati berlama-lama dalam solat, boro-boro punya keinginan tarawih 1 juz. Membayangkannya saja sudah mengerikan rasanya. Lama, pegel, nggak kuat dan ah sejuta alasan lain akan hadir menyapa.

Di Kabupaten Karanganyar sendiri tidak banyak masjid yang rutin mengadakan program tarawih 1 juz setiap malam di bulan puasa. Asumsi Ramadhan 30 hari berarti kita menyelesaikan seluruh Quran dalam solat. Prestasi yang luar biasa kan? Selain di Mesjid Bilal Ma’had Isykarima, Mesjid Agung Karanganyar yang letaknya dekat dengan Kantor Bupati adalah satu di antara sedikit masjid yang membuat program tarawih satu juz.

Memang peminatnya banyak?

Wes jangan salah. Memang di Mesjid Bilal jamaah dipadati oleh santri, tapi warga umum juga banyak. Di masjid Agung apalagi. Bacaan imam yang merdu dan tartil juga sangat membantu jamaah untuk kuat berlama-lama dalam solat.

Jangan dikira anak muda lebih banyak dari orangtua. Mungkin anak muda cuma kuat jogging atau futsal satu jam, giliran disuruh ngadeg sejam buat solat mah tepar semua mereka. Anak muda kalau nggak santri, jarang yang sengaja datang buat solat tarawih satu juz. Bukan fisik atau kuat-kuatan dalam urusan ini, dibutuhkan iman yang kuat dan sehat supaya bisa ikut tarawih satu juz.

Untuk para orangtua yang rindu berlama-lama dalam solat, sangat penting untuk belajar Quran dan menghafal sekalipun hanya juz 30. Alhamdulillah jika di bulan suci Ramadhan ini kita bisa mengakses masjid-mesjid yang mengadakan tarawih 1 juz. Tapi di 11 bulan lainnya bagaimana?

Apakah kita hanya cukup dengan baca three Qul dalam tiap solat tahajud atau sunnah lainnya?

Rasa capek dan lelah dalam belajar sungguh lebih berarti dibandingkan sedih dan capek dalam kebodohan. Berbeda dengan anak muda yang beban pikiran masih ringan dan daya ingat kuat, tapi angel tenan kalau urusan solat tahajud. Orangtua sebaliknya, waktu tidurnya sudah berkurang, kalau malamnya nggak dipakai solat apa mau dipakai begadang?

Tapi gimana mau solat lama kalau hafalannya itu-itu aja? Kita bisa belajar kan. Tapi kan belajar itu susah dan lama? Lebih susah mana daripada nggak belajar dan ya hafalan gitu-gitu aja? Belajar itu tidak susah jika metodenya pas dan porsinya disesuaikan dengan kemampuan kita.

Kalau orangtua disuruh ngafal satu halaman atau satu lembar sehari kaya santri ya tepar. Tapi kalau hanya hafal satu atau dua ayat per hari bisa kan? Sebaris atau dua baris aja. Dengan metode yang pas.

Kalau belum bisa baca Quran? Bisa sembari belajar iqro atau metode baca Quran lainnya, menghafal juga bisa sembari dituntun sama Ustadz. Sedikit-sedikit. Talqin istilahnya. Ustadznya membaca dan mencontohkan, lalu diulang oleh kita. Begitu terus berkali-kali sampai lancar dan bisa hafal.

Bukankah Allah senang dengan amalan istiqomah walaupun sedikit?

Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinu walaupun itu sedikit.
(HR. Muslim no. 783)

 

Tapi kenapa kita malah sebaliknya? Ingin cepat bisa, cepet pinter, cepet hafal tapi nggak ingin istiqomah?

Bisa hafal quran dalam dua tahun atau setahun itu tentu saja hebat. Tapi jika kita ternyata bisa istiqomah menghafal Quran bahkan sampai ajal menjemput tapi belum juga hafal 30 juz misalnya, itulah apa yang kita cari. Kematian menjemput di saat kita akrab dengan quran. Berharap Quran mau jadi penolong kita di akhirat nanti.

“Bacalah Al-Qur’an karena Al-Quran akan datang pada hari kiamat nanti sebagai pemberi syafaat bagi yang membacanya (dengan tadabbur dan mengamalkannya). Bacalah al-Zahrawain (dua cahaya) yaitu surat Al-Baqarah dan Ali ‘Imran karena keduanya datang pada hari kiamat nanti seperti dua awan atau seperti dua cahaya sinar matahari atau seperti dua ekor burung yang membentangkan sayapnya, keduanya akan menjadi pembela bagi yang rajin membaca dua surat tersebut.” (HR. Muslim: 1910)

Jangan Cari Pintarnya, Tapi Berkahnya

download (3)

Ada seorang Ibu yang bekerja di lembaga pemerintahan. Bersama rekan-rekan kerjanya, mereka berinisiatif untuk mengadakan program belajar Quran setiap dua kali sepekan. Setelah selesai bekerja, dari jam empat hingga lima sore sekitar 10an Bapak dan Ibu tak segan untuk belajar membaca mulai dari huruf per huruf layaknya iqro.

Akhirnya setelah setahun berjalan, Si Ibu ini mendapatkan cukup kemajuan. Jika dahulu dia kesulitan hanya untuk mengucapkan huruf per hurufnya. Kini dia sudah bisa membaca rangkaian ayat dalam Quran meski masih terbata-bata. Walaupun huruf-hurufnya masih belum sesuai makhrojnya.

Uniknya dari awal mulai belajar sampai setahun berjalan, Si Ibu tetap belum siap untuk mengenakan jilbab. Namun semangatnya dalam belajar Quran sangat tinggi.

Hal berbeda dialami oleh rekannya. Sebut saja namanya Bu Putri. Ibu yang sudah menginjak usia 50an tahun ini terlihat kesulitan dalam membaca Quran. Dari awal belajar Quran hingga sampai setahun setelahnya, nyaris seperti tidak ada kemajuan berarti. Huruf-huruf sudah tahu dulu, tapi membacanya masih saja terbata-bata hingga kini.

Sampai akhirnya 1-2 bulan terakhir Bu Putri tidak pernah terlihat lagi hadir dalam pertemuan belajar Quran. Padahal Bu Putri sudah istiqomah berjilbab.

Apa hikmah yang kalian dapatkan dari kisah ini, Kawan?

Jika kalian menyimpulkan Ibu yang tidak berjilbab tapi istiqomah belajar Quran itu lebih baik daripada Bu Putri yang sudah berjilbab namun belum istiqomah, maka kesimpulan kalian keliru. Dalam urusan jilbab, tentu Bu Putri lebih baik. Kita hanya perlu mendoakan Bu Putri agar semangatnya bangkit lagi dan istiqomah belajar Quran.

Sebaliknya untuk Si Ibu, dia sudah berupaya istiqomah belajar Quran. Kita tinggal doakan dia agar Allah beri hidayah dan kemantapan untuk menutup aurat.

Kasus Bu Putri menarik untuk kita cermati. Boleh jadi karena tidak kunjung lancar membaca Quran padahal sudah belajar selama setahun, akhirnya beliau mogok belajar. Sesuatu yang wajar bukan jika kita lelah sudah belajar tapi tidak bisa-bisa? Padahal waktu, tenaga, biaya sudah kita keluarkan untuk belajar. Itu semua tidak sedikit.

Kawan, kita salah fatal jika menganggap belajar Quran seperti halnya belajar matematika. Jika nilai matematika merah di rapot lalu artinya kita gagal, tidak seperti itu ketika kita belajar Quran. Maksudnya?

Satu pertanyaan sederhana saja. Apakah sia-sia jika seorang nenek tua renta pikun baru belajar iqro? Kita akan kompak menyebut bahwa apa yang dilakukannya tidaklah sia-sia.

Bukankah jika kita terbata-bata dalam belajar Quran maka akan mendapatkan dua pahala?

Seorang yang lancar membaca Al Quran akan bersama para malaikat yang mulia dan senantiasa selalu taat kepada Allah, adapun yang membaca Al Quran dan terbata-bata di dalamnya dan sulit atasnya bacaan tersebut maka baginya dua pahala” (HR. Muslim).

Sayangnya mindset kita dalam belajar Quran meyamakannya dengan belajar ilmu-ilmu yang lain. Tak ada yang sia-sia ketika kita sudah belajar Quran meskipun kita tidak pandai-pandai. Apalagi jika usia kita sudah tak muda lagi namun baru belajar Quran, salah fatal jika setalah 1-2 bulan belajar kita berpikir akan semahir Muzzamil Hasballah misalnya. Salah besar jika bermimpi setelah 3 bulan ikut dauroh Quran, kita langsung hafal dan lancar Quran 30 juz seperti Ustadz Hanan Attaki.

Tidak salah jika kita belajar Quran supaya pintar. Tapi jika kita sudah pintar baca Quran lalu malah hal itu melalaikan kita dari rajin membaca Quran. Maka niat kita benar-benar salah. Berapa banyak orang yang pintar membaca Quran tapi satu hari pun malah tidak memegang mushaf Quran?

Siapa yang membaca satu huruf dari Al Quran maka baginya satu kebaikan dengan bacaan tersebut, satu kebaikan dilipatkan menjadi 10 kebaikan semisalnya dan aku tidak mengatakan الم satu huruf akan tetapi Alif satu huruf, Laam satu huruf dan Miim satu huruf.” (HR. Tirmidzi)

Kita belajar Quran bukan semata-mata supaya pandai atau pintar. Lebih dari itu, kita belajar Quran supaya semakin dekat dengan Allah SWT. Bukankah setiap huruf yang kita baca bernilai pahala di sisi Allah?

Kita belajar Quran untuk mengharap ridho Allah, memohon keberkahan dari Allah. Jika di mata manusia mungkin hanya melihat orang-orang yang pandai membaca dan menghafal Quran, tapi sungguh Allah akan selalu melihat hambanya yang berjuang untuk semakin dekat dengannya. Tak masalah jika dia saat ini belum lancar membaca Quran namun terus istiqomah belajar.

Air Mata dari Surga

akhirussanah-tk

Tak pernah sebelumnya ketika wisuda anak-anak TK, bapak-bapak ikut hadir melihat putra putrinya tuntas menyelesaikan satu jenjang pendidikan. Tak pernah terlihat juga sebelum ini, air mata dari para Ayah itu tumpah. Kenapa?

Ah, jika biasanya wisuda makhluk Tuhan yang paling lucu ini diisi dengan nyanyian dan tarian di TK pada umumnya. Berbeda sekali dengan wisuda anak-anak KBRA Karima Ulya, unit setingkat PAUD dan TK di Ma’had Tahfizhul Quran Isykarima, Karanganyar, Jawa Tengah.

Anak-anak yang baru berusia 5-6 tahun itu melantunkan surat Al Insan secara bersama-sama di atas panggung. Kau tahu surat Al Insan? Sebagian dari kita mungkin tidak tahu. Nama suratnya saja tidak hafal apalagi ayat-ayatnya.

Surat Al Insan adalah surat nomor dua terakhir di juz 29. Ketika anak-anak ini begitu lancar murojaah di atas panggung, boleh jadi sebagian orangtua mereka kalah dari segi hafalan dan bacaannya.

Tapi momen yang paling mengharukan ialah ketika prosesi wisuda. Atau bahasa sana akhirussanah, akhir dari proses belajar mengajar di tingkat tersebut. Para ayah diminta untuk naik ke atas panggung. Saling berhadapan satu sama lain dengan anak-anak mereka.

Saat itu sebagian Ayah sudah tak kuat menahan air mata. Anak-anak mereka sudah siap dengan mahkota dari kertas warna-warni. Untuk kemudian ketika MC meminta para Ayah untuk menunduk, lalu dilanjutkan dengan penyematan mahkota warna-warni oleh anak-anak mereka tersebut. Pecahlah tangis pria-pria gagah yang menjadi tulang punggung keluarga itu.

Bagaimana mungkin kalian tidak akan bisa menangis, Kawan?

Anak-anak itu barulah 5 atau 6 tahun saja. Tapi bibir mereka basah oleh lantunan ayat suci Quran. Belum masuk SD saja sudah hafal juz 30 dan juz 29, tentu para orangtua mereka berharap dalam beberapa tahun buah hatinya itu bisa hafal 30 juz Al Quran.

Dan tidakkah kalian melihat para Ayah menangis ketika disematkan mahkota oleh anak-anak mereka. Ah, jangan nilai mahkota itu dari kertas warna warni berharga tak seberapa. Mahkota itu adalah wujud cita-cita mulia.

Kelak, ketika mereka pergi dari dunia ini dan berkumpul di akhirat. Para orangtua disematkan jubbah kemuliaan dan mahkota oleh Allah. Kenapa bisa seperti itu? Padahal mungkin para ayah dan juga ibu itu amal solehnya biasa saja. Boleh jadi juga mereka tidak hafal Quran.

Tapi karena sang anak lah, sebab buah hati mereka yang dalam hidupnya menjaga ayat-ayat Allah, mengamalkan Quran, mengajarkan 30 juz kalamullah dari generasi ke generasi. Allah anugerahkan mereka hadiah yang tak ternilai harganya.

Disampaikan oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Salam yang diriwayatkan oleh Imam Al-Hakim. Bacalah dengan hatimu “Siapa yang membaca Al-Quran, mempelajarinya, dan mengamalkannya, akan dipakaikan mahkota dari cahaya pada hari kiamat. Cahayanya seperti cahaya matahari dan kedua orang tuanya dipakaikan dua jubah (kemuliaan) yang tidak didapatkan di dunia. Keduanya bertanya, ‘Mengapa kami dipakaikan jubah ini?’ Dijawab, ‘Karena kalian berdua memerintahkan anak kalian untuk mempelajari Al-Quran.”
Duhai para orangtua, pernahkah kalian bertanya untuk apa semua kerja keras dan banting tulang yang telah dilakukan selama ini? Apa betul untuk anak-anak kalian? Apa benar semua itu demi kebaikan putra putri kalian?

Kenapa kalian tak pernah bisa menyentuh Quran barang sebentar saja? Mengapa bibirmu tak kuat untuk membaca ayat-ayat Allah satu halaman saja? Lalu apakah kalian masih pantas bermimpi anak-anak kalian menjadi hafizh dan hafizhoh sedangkan kalian tak bisa menjadi teladan?

Yuk mulai perbaiki saat ini juga. Kita mungkin ragu untuk bisa hafal Quran 30 juz. Tapi kita bisa kan mulai menghafal juz 30? Kalau belum bisa baca Quran, kita bisa kan mulai belajar Iqro? Mulai dari sekarang saatnya belajar Quran. Uang tak kan bisa membeli Quran untuk anak-anak kita tanpa teladan orangtuanya sendiri.

Bergeraklah! Kan kau temukan jalan

WhatsApp-Image-2017-07-09-at-08.36.56-1.jpeg

“Awas! Kejahatan bukan hanya terjadi karena niat pelakunya, tapi juga karena ada kesempatan! Waspadalah!”

Masih ingat nasehat Bang Napi di salah satu stasiun TV swasta itu? Populer di zamannya walaupun sekarang tak tahu kabar beliau.

Nah lalu bagaimana dengan belajar Quran?

Selain meluruskan niat, kita harus membuka kesempatan juga dengan bergerak. Belajar lah! Meskipun kondisi belum ideal. Kalau belum bisa belajar tiap hari ya belajar seminggu sekali. Kalau seminggu sekali aja nggak bisa ya sebulan sekali. Kalau sebulan sekali juga nggak bisa ya beberapa bulan sekali. Kalau sampai setahun sekali kayaknya kamu ngaji cuma pas solat idul fitri.

Zaman SMA waktu aktif-aktifnya menggerakkan pemuda masjid di lingkungan. Ada tuh jadwal kajian tahsin seminggu sekali. Satu yang paling diingat, kita biasanya urunan terus dibelikan gorengan atau cemilan. Habis ngaji makan gorengan rame-rame. Rasanya nikmat banget. Perbaiki bacaan quran walaupun tiap anak cuma dapat satu ayat satu ayat.

Selepas itu aktif di dunia kerja sempat vakum ngaji lama. Pas di Jakarta, sempat ngaji seminggu sekali di masjid PLN. Sayang, bukan lagu Sayang Via Vallen ya, tapi sayang nggak istiqomah. Karena weekend jadi sering izin dan waktu itu masih hobi backpacker.

Habis itu ada tahsin seminggu sekali di Pesantren Bina Insan Kamil. Nggak jauh dari kantor. Padahal sudah freelance waktu itu. Jadi bisa dua kali seminggu ke Jakarta bolak balik dari Bandung cuma buat ngantor dan ngaji.

Saat itu semangat lagi tinggi. Duh cuma tiga kali seminggu kurang euy. Sempat ikut karantina 10 hari pertama Ramadhan di Bogor. Buat pembiasaan. Terus 10 hari terakhir itikaf di Jogokariyan eh Alhamdulillah bisa tahsin alfatihah dan surat-surat pendek sama imam di sana.

Semakin lama semakin intens dengan Quran.

Puncaknya. Alhamdulillah bisa belajar Quran di ICID Isykarima. Intensif tapi tetap bisa kerja. Karena programnya memang diperuntukan buat bapak-bapak atau anak muda yang kerja dan sekolah. Empat kali seminggu tiap sore sampai malam. Bahasanya walaupun cuma tahsin dan ngafal juz 30 doang, tapi ilmu yang didapat tumpah-tumpah.

Senantiasa bergerak aja. Itu kuncinya. Allah akan memperjalankanmu dari satu tempat ke tempat yang lain. Allah ingin kita semakin dekat denganNya. Semakin dengan Quran.