Monthly Archives: March 2017

Mandiri dan Ketergantungan

“Nggak tega ngerepotin saudara di sana! Lebih enak kalau bisa mandiri.”

 

“Paling nggak ayat quran yang udah dihafal, udah dilaksanakan. Tapi kalau ngafal quran 30 juz tapi nggak dilakukan buat apa? Ada suami istri penghafal quran tapi pada berhutang.”

 

Eh. Kok jadi saya berasa disindir yaa? Penghafal quran tapi ngerepotin orang. Belajar agama tapi nggak mandiri, berhutang dan bergantung pada orang lain.

 

Ah, gue nggak peduli sih. Daripada kalian, orang-orang yang ngebanggain mandiri tapi nggak belajar-belajar agama. (Ah ya nggak gitu juga Gung ngomongnya, malah bakalan jauh dari kamu nanti. Bukan gitu caranya. Hehe)

 

Ada dua hal yang perlu dipisahkan, Kawan. Orang yang merasa bodoh lalu dia belajar memahami agamanya dengan ikut taklim, rajin baca dan mencari lingkungan yang mendukung pada taat,  tentu lebih baik dong dari mereka yang merasa pintar, terus nggak ada satu jam pun dari waktunya selama satu minggu untuk memperbaiki hubungannya dengan Allah.

Orang yang mandiri, punya penghasilan ideal, kerjaan bagus, mapan, nggak bergantung sama orang lain tentu lebih bagus urusan dunianya daripada mereka yang belum luas rezekinya, masih berhutang, bahkan untuk nutup hutangnya aja harus hutang lagi.

 

Kawan, satu hal yang harus benar-benar kita pahami.

 

Misal motivator yang pernikahan pertamanya tidak berjalan baik itu, kita caci dia terus kita merasa lebih baik karena pernikahan kita lancar2 saja misalnya atau malah kita asyik banget hina dia padahal kita ngalamin nikah aja belum. Yakin tuh kita lebih baik segalanya dari dia gitu?

 

Ada ustadz kondang asal Bandung yang nikah lagi. Widihhh, efeknya besar banget, Kawan, jamaahnya tinggalin sang Ustadz. Dicaci maki lah. Padahal apa yang dilakukannya tidak membuat Allah marah. Orang nggak pernah solat, nggak pernah dakwah aja, beuhh asyik banget tuh jelek-jelekin dia. Seolah dia jauh lebih baik dari sang ustadz, dia lebih baik karena dia gak poligami. Idih, nikah aja belum misalnya. Yakin tuh kita lebih baik segalanya dari sang ustadz?

 

Kebiasaan buruk kita, termasuk saya yaa. Kita merasa lebih baik dari orang lain, bukan karena kebaikan diri kita sihh. Tapi karena kekurangan yang dimiliki oleh orang lain. Gitu.

 

Belum paham maksudnya? Contohnya nih ada penghafal quran miskin dan hutangan misalnya, kita merasa lebih baik dari dia karena kita kerja mapan dan penghasilan oke. Kita seolah lupa dengan merasa lebih baik dari si penghafal quran miskin dan hutangan itu, emangnya hafalan quran kita tiba2 nambah 10 juz gitu? Nggak! Nggak sama sekali, Kawan. Kenapa sih kita nggak mikir sebaliknya aja? Orang yang lemah dan rezekinya tidak seluas kita aja, tapi dia bisa memperjuangkan untuk belajar quran sampe segitunya. Lah kita ngapain aja selama ini?

 

Kita merasa lebih baik dari MT dan Aa karena gak poligami dan pernikahannya lancar2 aja misalnya. Bahkan ada orang-orang yang merasa lebih baik dari mereka padahal ngalamin nikah aja belum. Kocak banget kan? Nih, apakah dengan merasa lebih baik dari mereka, terus tiba2 tulisan atau nasihat yang kita ucapkan langsung didengerin dan diamalkan oleh ribuan orang? Apakah kata-kata kita lantas bisa menyejukkan dan menginspirasi kebaikan kepada orang lain? Nggak juga tuh.

 

Menyedihkan sekali sikap kita ini, Kawan. Kita bukannya berlomba-lomba dalam melakukan kebaikan, tapi kita malah senang dan merasa lebih baik dari orang-orang yang punya kekurangan. Itu! Eh, emangnya kita nggak punya dosa dan kekurangan gitu yaa?

 

***

Tentang Pilihan!

 

Imam Nawawi dan Ibnu Taimiyah adalah contoh dua ulama yang sampe ajal menjemputnya, mereka tidak menikah. Lalu apakah karena mereka tidak menikah, terus kita menikah, kita merasa jauh lebih baik segala-galanya dari mereka? Apakah karena kita menikah lantas tiba-tiba langsung jadi ulama gitu? Kan nggak, Kawan.

 

Mau belajar agama atau nggak, adalah pilihan. Mau mandiri atau nggak, itu pun pilihan. Bahkan mau menikah atau pun tidak, itu juga pilihan, Kawan.

 

Oiya satu lagi, kita merasa lebih baik dari orang lain atau tidak pun, itu juga pilihan.

 

***

 

Bukan menjudge, tapi mengajak

 

Ada orang-orang yang solatnya belum full 5 waktu. Bukan untuk dijudge kalau mereka kafir, tapi gimana caranya ngajak mereka mau solat.

 

Ada orang-orang yang memang belum paham tentang kewajiban memilih pemimpin muslim. Bukan untuk dijudge kalau mereka munafik, tapi gimana caranya ngajak mereka mau milih pemimpin muslim.

 

Akhir-akhir ini saya sadar satu hal. Ada satu nikmat yang benar-benar anugerah buat kita. Yaitu nikmat mendengar bacaan quran, nikmat duduk di majelis taklim, nikmat menyimak kajian Islam. Karena ternyata ada orang-orang yang dengar bacaan quran tuh biasa aja, liat video ceramah tuh biasa aja. Yaudah. Gitu aja. Kita semangat banget, seneng banget ikut kajian, tapi ada loh orang lain yang merasa biasa aja.

Oh kalau gitu kita lebih baik dong dengan mereka? Bukan itu poinnya. Karena iblis juga merasa lebih baik dari Adam karena iblis diciptakan dari api bukan dari tanah.

Poinnya adalah berbagilah. Share. Kita senang nih dapat nikmat ini. Kita senang dapat nikmat deket2 dengan majelis ilmu, deket2 dengan quran. Ajak lah mereka yang belum mendapatkan nikmat itu untuk merasakan nikmat yang kita rasakan, Kawan.

 

Itu…

 

Untukmu. Yang mendapatkan keluasan rezeki dari Allah. Janganlah merasa lebih baik dari yang masih belum berkecukupan. Tapi berbagilah. Bagi ilmunya kepada mereka yang masih belum professional dalam bekerja. Kalau perlu kasih infaq produktif pada mereka yang masih lemah dan terjebak dalam hutang.

 

Itu…

 

Untukmu. Yang masih merasa lemah lantas malah menghalangimu untuk semakin dekat pada Allah. Nggak usah ragu, Kawan. Justru pas lagi lemah gini, pas lagi belum mandiri, pas lagi ngerepotin orang ini. Yuk dekat sama Allah. Minta sama Allah. Perbaiki hubungan kita dengan Allah. Semangat yuk belajar quran. Semangat buat hijrah dari tidak ngerti agama jadi mulai belajar agama. Itu! Allah yang akan memampukan kita, bikin kita mandiri. Yakin aja. Believe.

 

Pokoknya mah Allah saja.

Bergantung sama Allah aja. Dan perlu kamu tahu, yang bikin kita mandiri itu Allah juga.

***

 

Gelisah

Kawan, apa yang membuatmu gelisah?

Ada orang-orang yang gelisah karena ditinggal pergi orang yang dicintainya. Ada mereka yang gelisah karena belum dapat jodoh. Ada yang gelisah karena hafalannya nggak nambah-nambah, murojaahnya berantakan dan belajar qurannya nggak fokus. Wkwkwk.

Tapi ada satu tambahan lagi gelisah, Kawan. Gelisah yang nikmat. Gelisah yang diberi oleh Allah pada hamba-hambaNya. Gelisahnya orang yang takut dosa, orang yang takut mendurhakai Rabbnya, gelisah taubatnya seseorang yang berlumur dosa hingga rasanya Allah nggak akan mengampuni seluruh dosanya.

Kawan…

Pernah dengar kan kisah tentang tiga orang yang terjebak dalam gua? Lalu mereka bertawasul dengan amal kebaikan yang pernah dilakukan. Hingga dua orang sudah bertawasul, tapi pintu gua hanya sedikit terbuka. Hingga akhirnya orang ketiga, yang merasa tak punya amal apa-apa itu, akhirnya bertawasul dengan satu perkara. Ketika dia yang pernah mengajak seorang perempuan berzina, tinggal satu detik lagi hingga murka Allah akan menghampirinya, lalu sang perempuan itu mengingatkannya tentang ketakutan pada Allah. Si lelaki tiba-tiba langsung mengalami ketakutan teramat sangat, hingga akhirnya meninggalkan perempuan itu.
Laki-laki itu mungkin tak punya amal apa-apa yang bisa dibanggakan di hadapan Allah. Bukan ahli tahajud, ahli dosa iya. Bukan ahli infaq, ahli maksiat iya. Tapi ternyata ketakutan terhadap Rabb Semesta Alam itu bernilai sangat besar. Hingga pintu gua pun terbuka.

 

Lalu ada juga kisah di buku Taman Orang-orang Jatuh Cinta dan Memendam Rindu yang ditulis Ibnu Qayyim Al Jauziyah tentang pemuda yang ingin melamar gadis. Tapi si gadis enggan dilamar, kalau mau pacaran aja. Nggak mau nikah. Waduh. Kalau yang diincar cuma si gadis gitu ya, yaudah pacaran aja lah kan beres. Tapi si pemuda itu takut pada RabbNya. Pemuda itu ingin ngajak dia nikah, bukan ngajak perempuan itu bikin dosa.

 

Kawan ada di mana kah kita di antara dua sosok itu? Dua sosok yang takut pada Rabbnya, yang satu sosok ahli maksiat yang di saat akhir diberi hidayah bertaubat karena takut pada Allah. Atau sosok pemuda solih, yang teramat besar cintanya pada sang gadis, tapi dia memilih meninggalkannya karena Allah. Khawatir banget, takut banget kalau dia mendapatkan gadis itu malah Allah jadi marah.

 

Atau jangan-jangan kita tidak berada di antara keduanya?

 

Kita tidak takut dosa, kita tidak takut Allah marah, kita juga nggak pernah taubat atas segala maksiat pada Rabb yang menggenggam jiwa kita?

 

Kita ketakutan setengah mati kalau  kehilangan perempuan yang kita cintai. Perempuan yang bukan siapa-siapa, istri bukan, ibu bukan, anak orang yang belum lama dikenal iya. Seolah dialah segala-galanya. Entah cinta yang tidak halal pada perempuan yang belum halal, itu datangnya dari mana sih? Yakin cinta seperti karena Allah? Nggak bisa moveon dari hal-hal kayak gitu?

 

Rabbi… maafkan kami. Astaghfirullahal ‘Adzim.

Kalimat yang tak sempat terucap, “Ayah, Ingin Kuhadiahkan Istana di Surga Tertinggi Untuk Anakmu!”

Mungkin ikutan trend. Boleh jadi karena memang diri ini tidak punya kelebihan menonjol dibandingkan teman-teman lain. Tapi satu hal yang pasti, tiap saat aku berupaya meluruskan niat selalu. Belajar quran, menghafal quran ini karena Allah. Bukan karena perempuan, bukan karena uang, bukan supaya dipanggil ustadz, bukan buat jadi imam, dan niat-niat sampingan lainnya.

Karena Allah saja. Hanya karena Allah. Berupaya untuk lurus ke situ. Setiap doa, selalu berharap agar Allah menghadirkan ikhlas di hati ini, supaya Allah mengizinkan istiqomah bersemayam dalam setiap amal kebaikan di diri ini. Belajar quran. Itu. Itu aja dulu.

Tidak, Kawan. Kita bisa ikhlas, kita mampu istiqomah, bahkan kita sanggup bersyukur atas setiap nikmat yang Allah berikan itu, itu semua bukan karena kehebatan kita. Kita bisa ikhlas, istiqomah dan bersyukur itu juga nikmat dari Allah.

“Ya Allah. Agung ingin jadi hafizh quran. Jadi bagian dari orang-orang yang menjaga kalam-Mu, ya Rabb. Menginstall quran di hati ini. Menjadikan quran sebagai cahaya di pikiran ini. Mengamalkan quran sebagai sikap dan akhlak sehari-hari. Mengisi nikmat istirahat dengan murojaah quran, berlama-lama dalam qiyamulail dan dhuha dengan bacaan quran yang nggak cuma itu-itu aja. Hehe.”

Harapan yang sudah tertulis sejak berbulan-bulan lalu. Cita-cita yang sudah terlukis di hati bertahun-tahun silam. Bahkan ketika juz 30 aja belum hafal. Sekalipun belajar tahsin aja urung terlaksana Walaupun pengalaman belajar quran di berbagai tempat tak pernah istiqomah. Selalu mentok ditengah jalan. Berkali-kali putus dengan Istiqomah begitu menyakitkan.

Kawan, aku belajar. Kita seharusnya tak pernah berhenti belajar bukan? Memelihara harapan mulia, memfokuskan pikiran pada tekad untuk jadi bagian dari manusia-manusia pembebas Palestina. Berteman dengan cita-cita besar. Tak peduli, tak masalah, meskipun saat ini kita tidak tahu bagaimana caranya. Udah mimpi aja.

Bertahun-tahun lalu. Kekaguman pada seorang “mbak cantik”—istilah yang diberikan seorang teman, tulisan tangan dengan potongan gambar koran tentangnya tertempel di diary. Eh, ternyata, dua tahun dua bulan kemudian bisa ketemu orangnya langsung.

Gila! Kejadian, Kawan. Untuk bermimpi bisa ketemu aja nggak berani waktu itu. Eh, malah jadi kenyataan. Belum lagi mimpi-mimpi sederhana lain yang jadi kenyataan. Menerbitkan buku juga mengkreasikan 1 tulisan yang dibaca oleh 100 ribu orang, itu semua jadi kenyataan.

Dreams come true!

Bener nggak tuh bahasa Inggrisnya? Hehe.

Impian-impian yang jadi kenyataan ini memaksaku untuk merenung. Gung, kalo cita-citamu selama ini jadi kenyataan kenapa nggak sekalian bermimpi besar aja? Bercita-cita besar aja?

Ya, berkarib akrab dengan cita-cita besar, obsesi mulia ini yang tengah aku lakukan. Sekalipun itu tadi. Gimana caranya mewujudkan itu semua? Jangan tanya sekarang, jawabannya juga nggak tahu. Tapi aku yakin itu semua akan terjadi. Akan terwujud. Udah itu aja. Berharapan baik aja, husnuzhon aja sama Allah. Fokus di situ aja.

Sebelum mengubah dunia, aku ingin mengubah diri sendiri. Harapku sederhana, ya Rabb. Menginstall quran di hati ini. Mengamalkan quran sebagai sikap dan akhlak sehari-hariku. Menjadi bagian dari hamba-hambaMu yang menjaga kalamullah.

Aku yakin bisa. Tak peduli usia 27 tahun saat ini. Meskipun orang-orang yakin aku tak kan mampu. Tapi aku yakin aku mampu. Aku yakin Kau akan memampukanku, ya Allah. Entah bagaimanapun nanti cara dan prosesnya. Pasti bisa. Aku percaya pada keajaibanmu, ya Rabb. Tak peduli begitu banyak dosa dan maksiat yang telah dan selalu kuperbuat, ya Ghofar. Aku percaya pada “kun fayakun”-Mu.

Ah iya, pasti kalian akan menyerangku dengan alasan berbakti pada orangtua dan segala macamnya bukan? Kalau fokus belajar quran gimana cari duitnya, gimana mau ngasih uang ke orangtuanya? Biarlah itu jadi urusan yang hanya Allah, orangtua dan aku saja yang tahu. Satu hal yang ingin kukatakan padamu, Kawan.

Jika orangtua kalian bukanlah alim yang ilmunya bermanfaat buat umat, juga bukan orang kaya yang sedekah jariyahnya tumbuh di mana-mana, yuk kita sama-sama berjuang jadi anak soleh yang senantiasa mendoakan orangtua kita.

Belum lama juga aku paham tentang ini, tidak hanya doa yang sampai pada orangtua kita, Kawan. Tapi setiap amal kebaikan yang kita lakukan, maka pahala kebaikan kita pun akan sampai pada orangtua tanpa mengurangi pahala kita. Pantesan aja Ustadz itu anaknya banyak coba. Kalo soleh solehah semua jadi tabungan pahala di akhirat, juga bisa reuni kumpul keluarga di surga.

Jika dulu, aku bangga dan sudah sangat bahagia bisa memberi orangtua separuh bahkan kadang seluruh gaji dari hasil bekerja. Kini, aku sangat berharap, keinginan yang amat, dari setiap huruf dalam alquran yang kubaca, dari tiap ayat yang kuhafal mati-matian melawan malas, dari perjuangan untuk fokus belajar quran yang seringkali gagal, lalu bangkit lagi, gagal lagi, bangkit lagi, berupaya memeluk istiqomah tak peduli berapapun harga yang harus kubayar. Aku berharap padamu, ya Rabb, agar dari setiap amal kebaikan sederhana itu Kau terima, lalu pahalanya juga mengalir pada Ayahku yang sudah tiada juga pada Ibu yang aku berbakti padanya tak pernah sempurna.

Kumpulkanlah kami di surga, ya Rabb. Kumpulkanlah kami. Jangan biarkan seorangpun dari kami tak bertemu di akhirat nanti. Aku ingin bisa menggandeng mereka semua ke surga tertinggi, ya Rabb. Menghadiahkan mahkota dan jubah kemuliaan. Hadiah yang tak pernah bisa aku berikan di dunia. Mampukanlah aku, ya Rabb. Mampukanlah hamba-Mu ini.

***

Assalamu’alaykum warrohmatullohi wabarokatuh.

Kawan?!

Hayooo, siapa tadi yang menduga kalo tulisan ini semacam narasi romantis dan sejenisnya? Ketipu nihh yeee. Hehe.

Aku menerbitkan tulisan ini juga karena gagal fokus ngafal quran. Padahal mah niatnya pengen off sosial media. Tapi dilanggar sendiri. Yaudah. Sekarang jadilah tulisan ini sebagai upaya buat bangkit lagi, fokus lagi belajar quran.

Aku pernah dulu, belajar tahsin gara-gara perempuan. Tapi ya endingnya juga nggak baik sih. Paling nggak dulu pernah melakukan kesalahan, belajar quran karena perempuan. Perempuannya nggak dapat, qurannya apalagi. Selesai deh.

Sekarang, nggak mau belajar quran atau ngafal quran karena perempuan. Nggak mau. Rugiiiiii!

Sekarang mah, mau apa-apa karena Allah aja. Makan karena Allah, minum karena Allah, berbakti sama ortu karena Allah, belajar dan ngafal quran pun karena Allah aja. Semua-mua maunya karena Allah aja.

“Saya mah kumaha Allah aja!”

***

Terus apa maksud judul tulisan ini, Gung?

Nggak ada maksud buruk sih. Adanya maksud baik yang belum bersambut aja. #Ehhh. Pas lagi bandel buka whatsapp kemarin-kemarin, ada broadcast tentang seorang hafizh bersertifikat di suatu kota sedang cari istri dengan kriteria mau menerima apa adanya. Wallohualam ya, itu broadcast valid atau nggak. Bukan tentang itu intinya.

Duh, Gung. Kenapa sempat terlintas kalimat itu. Kalimat yang tidak sempat terucapkan itu.

“Ayah, ingin kuhadiahkan istana di surga tertinggi untuk anakmu!”

Padahal oh padahal, belum lama kamu lewat juz 30, terus sekarang juz 29 aja nggak kelar-kelar. Kalo pantas-pantasan sih ya lebih baik si hafizh bersertifikat itu yang bilang gitu ke calonnya. Bukan kamu, Gung. Bukannnn!

Kok ya kamu malah kepikiran seperti itu? Dulu yakin banget kamu ingin bilang gitu karena Allah. Tapi hari ini, untunglah kalimat itu tidak sempat terucapkan. Khawatirnya itu bukan karena Allah.

Berterimakasihlah sama Allah, Gung!

Iyapz. Alhamdulillah.

Sekali lagi. Allah telah menyelamatkanmu. Berkali-kali. Nggak terhitung gimana Allah menyelamatkanmu.

Sekarang. Fokus lagi. Peluk istiqomah. Berteman dengannya. Berkarib dengannya. Ujian akan selalu ada. Tapi ada Allah yang selalu menolongmu. Just believe. Yakin aja.

Oiya. Balik lagi ke cita-cita hafizh tadi. Aku nggak tahu caranya. Cuma yakin aja modalku. Tapi Allah tahu caranya. Dan Allah begitu baik menggerakanku ke Karanganyar ini. Mengunduh ilmu di Pondok Pesantren Isykarima.

Kawan di mana pun kamu berada. Mungkin ini cara Allah mewujudkan mimpiku. Sudah 2 minggu ini aku tinggal dan bekerja di Pondok sekarang. Ceritanya jadi penyiar di Radio Isykarima. Aplikasinya ada di playstore, cari aja deh. Radionya juga streaming selain juga bisa didengar di 99.9 fm mencakup Karanganyar, Sragen, Wonogiri, pokoknya se-Solo Raya deh.

Seolah-olah, Allah ingin bilang, “Gung, kamu mau belajar quran kan? Nih tinggal di Pondok, kerja di pondok, terus belajar quran yang bener. Setoran tiap hari bada subuh sama Ustadz!”

Beuhh. Baik bangeet deh Allah sama orang-orang yang yakin pada obsesi mulianya, pada cita-cita besarnya. Sudah mah dikasih tinggal dan belajar di Pondok, aku masih juga berdoa juga moga dikasih ikhlas dan istiqomah. Hehehe. Bukankah ikhlas dan istiqomah juga nikmat yang Allah kasih untuk kita?

Doakan ya teman2. Agar aku bisa istiqomah dan ikhlas belajar quran, menghafalnya 30 juz di tahun ini, mengamalkannya, dan menjadikan quran sebagai pemikiran, akhlak dan sikapku. Hingga kita akan sampai pada satu mimpi besar yang lain, menjadi bagian dari orang-orang yang membebaskan Palestina. Semoga aku dan kamu bisa solat subuh bersama di mesjid Al Aqsa yaa tidak lama lagi. Aamiiin.

***